Senin, 28 November 2011

Nobunaga, Hideyoshi, atau Ieyasu?*



Pernah berpikir untuk menjadi seorang pemimpin? Yang memimpin ratusan, ribuan bahkan jutaan orang? Kemudian pernah berpikir mau menjadi pemimpin seperti apa? Kalem, pemberani, bersemangat, tegas, dekat dengan bawahan, humoris?
Kalau kita masih jauh dari level pemimpin, mungkin kita masih ragu-ragu mau jadi pemimpin seperti apa ya kelak? Apakah dengan kondisi dan karakter kita sekarang ini akan bisa mengantarkan kita kelak untuk menjadi seorang pemimpin?

Kalau masih mencari jawabannya, kita bisa belajar dari syair yang kabarnya diketahui oleh setiap anak sekolah di Jepang. Syair itu seperti ini:

Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?
Nobunaga menjawab, “ Bunuh burung itu!”
Hideyoshi menjawab, “ Buat burung itu ingin berkicau.”
Ieyasu menjawab, “ Tunggu.”

Syair itu memang menggambarkan watak dari ketiga orang tersebut. Nobunaga Oda merupakan sosok yang ekstrem, penuh karisma, gegabah, tegas, dan brutal. Nobunaga berhasil menaklukkan banyak propinsi termasuk Shogun waktu itu. Hideyoshi Toyotomi merupakan sosok yang cerdas, sederhana, halus, pandai berkomunikasi, dan kompleks. Hideyoshi menggantikan Nobunaga yang terbunuh, menyatukan Jepang, dan menjadi Taiko. Ieyasu Tokugawa merupakan sosok yang tenang, bijaksana, penuh perhitungan, dan dewasa. Ketika Hideyoshi meninggal, Ieyasu menggantikannya dan menjadi Shogun.

Selain itu yang menarik adalah latar belakang dari ketiga orang itu. Nobunaga adalah seorang Daimyo – adipati – dari propinsi Owari. Ieyasu juga seorang Daimyo dari propinsi Mikawa, propinsi yang lebih lemah dari Owari sehingga Ieyasu memutuskan untuk menjadi pengikut Nobunaga. Di masa kecilnya Ieyasu menjadi sandera marga Oda. Sedangkan latar belakang Hideyoshi sangat berbeda. Si kurus berwajah monyet, dia lahir sebagai anak petani, kemudian menjadi pembantu Nobunaga sebagai pembawa sandal, kemudian menangani dapur, kayu bakar, sampai akhirnya menjadi samurai di barisan Nobunaga. Namun dia memang dikaruniai kemampuan berdiplomasi, berargumentasi, dan retorika yang bisa mengubah pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu.

Nah, dari tiga orang tersebut kita bisa belajar minimal dua hal. Yang pertama,siapa pun kita sekarang, kita berhak untuk menjadi seorang pemimpin. Tetapi tentu saja dengan kesabaran dan ketekunan yang dibarengi dengan kekuatan visi. Tentang hal ini kita bisa belajar dari Hideyoshi.

Yang kedua, seperti apa pun karakter kita, kita bisa menjadi seorang pemimpin. Tapi tentu saja masing-masing karakter ada konsekuensinya. Orang yang ekstrem, tegas, dan brutal seperti Nobunaga bisa menjadi seorang pemimpin tetapi memiliki banyak musuh hingga akhirnya dikhianati oleh pengikutnya sendiri. Orang yang tenang, penuh perhitungan, dan bijaksana seperti Ieyasu bisa menjadi seorang pemimpin, bahkan lebih “langgeng” atau abadi daripada Nobunaga, dengan mendirikan keshogunan Tokugawa. Ungkapan berikut ini bisa menggambarkannya:

“Penyatuan kembali seperti membuat nasi. Nobunaga menumbuk padi. Hideyoshi menanak nasi. Pada akhirnya, Ieyasu memakannya 300 tahun.”

Sepertinya, kalau kita ingin menjadi pemimpin yang “langgeng” tidak cukup hanya mengandalkan karakter kita saja, tapi harus dibarengi dengan memperhatikan “kemaslahatan” atau apa yang terbaik untuk bawahan kita. Karena, menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan bukan?

^tos^

* dimuat di Tudung News edisi no. 06/II/April-Juni 2010